Pengalaman Menulis Buku PERTAMA

* ASAL MUASAL SAYA MENULIS

Menjadi penulis bukanlah impian saya sejak kecil. Saya baru “bermimpi” jadi penulis ya sejak saya mulai menulis novel TW&JA di awal tahun 2008. Namun kegemaran menulisnya sendiri mulai saya sukai sejak SMP, karena saya ingat dulu itu pernah punya buku tipis semacam kumpulan puisi, lalu buku itu sempat ditemukan teman sekelas dan jadi bahan olok-olok dengan cara dibacakan lantang-lantang saat istirahat kelas, hahaha. Saya juga ingat kesenangan saya saat mengerjakan PR membuat dialog di pelajaran Bahasa Inggris. Saya membuatnya sambil membayangkan itu adalah adegan dalam film, dan karena saya adalah penggemar film drama, saya sampai pernah membuat dialog dengan memasukkan adegan berciuman, padahal saya masih SMP, hahahaha. Kalau buku harian saya tidak pernah punya, meski pernah mencobanya di masa SMP dan SMA, tapi tak pernah bertahan lama, paling cuma seminggu. Mungkin saat itu karena saya belum bisa mengungkapkan isi hati dalam bentuk prosa yang bagus, jadi yang saya tulis adalah kegiatan sehari-hari saja yang mana antara hari yang satu dengan yang lain isinya tak jauh beda, jadi lama-lama saya sendiri bosan, hahaha.

Di masa dewasa sejak ada blog dan Facebook, saya memilih untuk menulis beberapa kontemplasi pribadi di Facebook, bukan di blog. Meski saya punya beberapa blog, namun pengalaman membuktikan bahwa saya tidak pernah bisa aktif menulis di blog. Mungkin karena saya tidak tahu bagaimana caranya mempromosikan sebuah blog agar banyak yang mau membacanya, maka saya merasa tulisan saya di blog tidak pernah terapresiasi oleh siapapun, sedangkan di Facebook teman-teman saya adalah audeince-nya. Dan satu lagi bedanya dengan Facebook adalah adanya section Photo Album di Facebook. Saya gemar memfoto dan difoto serta memamerkannya,  sehingga tiap kali saya upload sebuah album, saya selalu ingin melengkapi album tersebut dengan penjelasan aktivitas yang terkait saat itu. Tadinya berbentuk komentar atau liputan, lama-lama saya cenderung membuatnya dalam bentuk puisi. Tujuannya adalah untuk memperpendek penjelasan saya dan sekaligus menuangkan perasaan yang saya alami di dalamnya. Dengan puisi jatunya jadi lebih dramatis, dan saya ternyata menikmatinya. Lama kelamaan saya menulis juga di section Notes di Facebook untuk beberapa kontemplasi pribadi yang tidak disertai acara pamer foto. Mungkin disitulah awalnya saya mulai suka menulis.

 

* PROSES KREATIF PENULISAN HINGGA PENERBITAN

Proses menulis TW&JA saya jalani selama 3 tahun, dari awal 2008 sampai akhir 2010. Kendala utamanya adalah menemukan waktu untuk menulis disela kesibukan bekerja dan berumah tangga bersama istri dan anak pertama saya yang saat itu baru lahir. Kendala selanjutnya adalah minimnya pengalaman saya di sunia tulis-menulis ini, sehingga saya baru menyadari bahwa ternyata riset perlu dilakukan untuk memperdalam topik penulisan. Mengingat topik utama di novel saya adalah Jane Austen sedangkan saya saat itu belum pernah membaca satupun novel-novel Jane Austen, maka mau tak mau saya harus mulai membacanya. Proses riset juga meliputi menonton film dan miniseri adaptasi dari buku Jane Austen, serta mencari berbagai hal di internet tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Jane Austen. Banyak sekali artikel-artikel yang membantu memperdalam pemahaman saya tentang esensi cerita di buku-buku Jane Austen. Selain itu, ternyata tak sulit untuk bertemu dengan para penggemar Jane Austen di seluruh dunia. Ada banyak sekali Facebook Page terkait dengan Jane Austen, dari yang dikelola secara resmi oleh organisasi, sampai Fan Page yang dikelola perorangan. Disana saya bisa berinteraksi dengan mereka dalam berbagai topik seputar Jane Austen, baik karyanya maupun kehidupannya.

Akhirnya pada bulan November 2010 naskah novel saya selesai juga. Saya serahkan naskah tersebut dalam bentuk hardcopy sebanyak +/- 350 halaman ukuran A4 dengan spasi ketikan 1,5 kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama. Tiga bulan kemudian di bulan Februari 2011, saya menerima surat dari Gramedia yang menyatakan bahwa mereka akan menerbitkan naskah saya sebagai novel dalam genre Metro-Pop, dan bahwa buku saya harus mengantri untuk proses editing. Saya kemudian diminta menyerahkan softcopy naskah untuk mempermudah proses editing. Namun kemudian, pihak Gramedia menyatakan bahwa daftar antrian untuk editing sangatlah panjang saat itu. Ternyata selain keahlian menulis dan keharusan melakukan riset, satu hal lagi yang perlu dimiliki dalam menerbitkan sebuah buku adalah kesabaran. Proses antrian ternyata memakan waktu sangat lama, kurang lebih sembilan bulan. Pada bulan November 2011, saya mendapat email pertama dari Editor di Gramedia yang mengirimkan draft awal hasil editan atas naskah saya. Saat itu saya sangat gembira tak terkira meski harus menerima tugas membaca ulang naskah saya dari awal sampai akhir sebagai kelanjutan proses editing. Dalam prosesnya saya menemukan bahwa beberapa bagian dari naskah saya itu ternyata dihilangkan. Saya sempat menanyakan hal itu kepada Editor saya, kemudian beliau menjelaskan alasannya, dan sayapun kemudian menyetujuinya. Pada intinya, di fase ini yang terjadi adalah komunikasi antara Pengarang dan Editor denga tujuan memutuskan hasil akhir naskah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam kasus saya proses ini berlangsung cukup singkat, sedangkan pada kasus lain bisa jadi prosesnya memakan waktu lama, tergantung kondisi masing-masing naskah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dibuatkan setting lay-out-nya selama kurang lebih dua minggu, yang mana hasilnya disebut sebagai Proof, yaitu file yang akan tercetak sebagai buku nantinya. Proof ini harus dibaca ulang, bisa oleh Editor atau oleh Pengarang, untuk memastikan bahwa file inilah yang benar untuk naik cetak. Bersamaan dengan itu, saya dianjurkan untuk mulai membuat usulan cover buku jika saya berkenan, mengingat sebetulnya keputusan mengenai desain sampul sepenuhnya berada di tangan Gramedia, sedangkan Pengarang hanya boleh memberi usul saja. Hal tersebut tertuang dalam Surat Perjanjian Penerbitan yang ditandatangani oleh saya dan Gramedia.

Surat Perjanjian Penerbitan dari Gramedia, yang isinya berupa kontrak penerbitan untuk ‘satu’ judul buku saya tersebut, saya terima melalui kurir ke alamat rumah saya pada saat proses editing berlangsung. Perlu diperhatikan disini bahwa kontrak tersebut hanya mengikat untuk satu judul buku saja, bukan Pengarangnya. Dengan demikian baik Penerbit maupun Pengarang bebas melanjutkan atau menghentikan kerjasama penerbitan buku untuk karya-karya selanjutnya.

 

* “MENCURI” WAKTU UNTUK MENULIS

Dalam pengalaman saya, karena saya bekerja di kantor, salah satu cara untuk menghindar dari pekerjaan adalah dengan mengambil cuti. Beruntung saya adalah karyawan dengan masa dinas yang sudah cukup lama, sehingga saya mempunyai jatah cuti panjang yang saya ambil sedikit demi sedikit untuk kebutuhan menulis ini. Disamping itu, pekerjaan saya saat itu seringkali mengharuskan saya bepergian dinas ke luar kota. Saya selalu menyempatkan diri diantara waktu luang saya di luar kota untuk menulis, sejak dari waiting lounge di Airport sampai di kamar hotel begadang sampai lewat tengah malam. Tak ada kiat khusus dalam menyikapi masalah ini. Yang pasti usahakan pekerjaan di kantor tidak berantakan, dan prose menulis berjalan lancar.

Setiap kali saya sudah ada ide untuk menulis, saya ambil cuti 5 hari kerja, tapi saya tidak berada di rumah. Saya pergi di pagi hari di jam yang sama karena harus tetap mengantar istri saya ke kantor. Namun sesampainya di kantor istri, saya tidak melanjutkan perjalanan ke kantor saya, melainkan mencari gerai Starbucks Coffee terdekat. Saya selalu berada disana setiap hari selama seminggu sejak pagi sampai sore untuk menulis, kemudian menjemput istri untuk pulang di waktu seperti biasa. Bagi saya, suasana di Starbucks Coffee sangat kondusif dalam proses penulisan saya. Gerai yang ternyaman menurut saya saat itu adalah Starbucks di gedung Oakwood, di kompleks perkantoran Mega Kuningan. Lokasinya tidak sempit, kalaupun pelanggannya sedang banyak tidak terkesan sesak, dan iringan musiknya yang seringkali jazzy menenangkan pikiran saya dan menumbuhkan semangat untuk menulis.

 

* MENJADI SEORANG PENULIS

Dari pengalaman saya di bidang menulis yang sangat minim ini, menurut saya modal yang perlu dimiliki penulis adalah ketrampilan menulis dan kemampuan memperhatikan. Ketrampilan menulis bisa diperoleh dari seringnya menulis. Practice makes better! Silahkan kalau ingin mengambil kursus menulis atau tidak, tapi yang pasti sering-seringlah menulis. Saya sendiri belum pernah kursus menulis, tapi saya tidak menyerah pada sulitnya membuat karya tulis. Di sisi lain, kemampuan memperhatikan tidak ada kursusnya. Disini menurut saya sangat penting bagi penulis untuk mengasah sensitivitas hati dan pikiran. Caranya adalah dengan menangkap “makna” pada setiap kejadian dalam kehidupan. Sebuah karya akan dianggap “dalam” dan tidak “dangkal” adalah pada saat karya itu menyentuh satu sisi di kehidupan. Sebagai latihan, cobalah mencermati lirik lagu yang mendapat penghargaan Grammy, atau mencari sisi kemanusiaan dari sebuah film action atau komedi atau animasi atau drama, yang masuk nominasi Oscar. Kalau sudah bisa menangkap esensinya, mulailah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman, mencari sisi-sisi kemanusiaan dari berita-berita di tv atau koran, atau mencermati pengalaman hidup kita sendiri atas suatu nilai hidup yang saat ini kita tahu tapi lima tahun yang lalu kita tidak tahu. Mungkin dari situ kita akan menemukan bagaimana diri kita menjadi lebih mengerti atau lebih bijaksana dalam memandang sesuatu. Proses pendewasaan suatu karakter dalam sebuah karya tulis adalah poin penting yang menjauhkannya dari kesan “dangkal”.

Bagi saya, yang saya sukai dari profesi Penulis ini adalah kesempatan untuk berbagi kebaikan dengan para pembaca. Selama proses penulisan bahkan sampai sekarang, saya selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar saya diberi kemampuan untuk membuat buku yang “bermanfaat” bagi para pembacanya. Bukan berarti saya harus membuat sebuah buku Motivasi, tapi saya akan sangat senang jika pembaca buku saya bisa mengaplikasikan hal-hal yang saya tulis di buku itu dalam kehidupan keseharian mereka. Oleh karena itu saya membuat buku yang masalahnya sebisa mungkin dekat dengan realita, dan berakhir bahagia. Happy ending ini penting bagi saya, karena saya ingin para pembaca mempunyai “harapan” bahwa masalah kehidupan yang saya sampaikan dalam buku saya bukan tak ada jalan keluarnya. Kalaupun alur kisahnya berbeda dengan kehidupan nyata, setidaknya jika pembaca bisa menemukan koneksinya antara cerita atau karakter di buku dengan kehidupan dia atau orang lain disekitarnya, maka mereka akan percaya bahwa buku saya ini dekat dengan realita.  Dari situ, “manfaat” membaca buku saya akan terserah kepada pembaca itu sendiri, apakah mau mempertimbangkan rekomendasi solusi seperti kisah di buku saya, atau mencari alternatif yang lain, silahkan saja.

Sedangkan yang saya tidak suka dari profesi Penulis adalah berkurangnya waktu dalam jumlah cukup banyak, yang seharusnya bisa saya luangkan untuk bersenang-senang dengan keluarga. Itu saja! 🙂

 

* BAGI PENULIS PEMULA

Saran saya adalah rajin-rajinlah menulis. Itu utama! Teori yang lain bisa bertambah seiring perkembangan pengalaman dan pola pikir manusia dari waktu ke waktu, namun “passion for writing” harus tetap dijaga. Saran selanjutnya adalah menulislah dari hati. Bukan untuk orang lain, tapi buat diri sendiri. Kalau kita yakin bahwa kita sudah menghasilkan karya tulis yang bagus, maka Insya Allah orang lain yang membacanya juga turut yakin akan hasil kita itu. Tapi hati-hati, jangan sampai saking yakinnya, kita justru terjerumus dalam sikap sombong. Penulis yang merasa dirinya sudah paling pandai, tak akan bisa menyisakan ruang bagi dirinya sendiri untuk berkembang. Dan ini fatal akibatnya. Tetaplah rendah hati dan membuka diri atas berbagai kritik dan saran, bahkan mungkin penolakan sekalipun. Tetap semangat menulis dan memperbaiki diri. Karya tulis adalah sebuah produk seni, yang pada akhirnya tergantung apada selera masing-masing orang yang menikmatinya. Jadi jangan heran kalau menemui karya tulis yang sangat bagus, best seller dimana-mana, tapi tetap saja ada yang tidak suka. Penulis tak bisa memaksakan selera.

And last but not least, rajin-rajinlah berdoa kepada Sang Maha Pemberi Ilmu agar selalu diberi pikiran yang terang dan ide yang cemerlang. Bagi saya ini penting, terutama untuk menghindari “writing block”, sebuah kemacetan ide dan pikiran yang paling ditakuti oleh semua penulis. Maka pada akhirnya “ikhlas dan sabar” adalah kunci untuk menjawab semua permasalahan manusia di muka bumi ini, termasuk bagi para penulis.

Selamat menulis, kawan! 🙂

 

 

15 comments on “Pengalaman Menulis Buku PERTAMA

  1. sering kali saya merasa stuk saat menulis,bahkan sangking inginnya menulis,aya menyiapkan bahan sebelum membuat novel,tapi kenapa selalu merasa terhenti dan merasa bahwa menulis sangat berat ? mohon petunjuknya

    • Hai Ayu… Maaf baru balas. Konon sayapun sekarang sedang mengalami hal yg sama. Buku kedua ini udah hampir tiga tahun nggak kelar2. Sekarang tinggal satu bab pun masih lamaaa rasanya menyelesaikannya, hehehe.

      Anyway, disini sy belum menjawab pertanyaan Ayu ya. Nanti Insya Allah akan saya lanjutkan lagi. Kalay perlu kita bisa saling diskusi ttg bagaimana menyiasati masalah menulis ini, hehehe.

      Sampai nanti Ayu… 😆😆😆

    • Hai Ayu, apa kabar?

      Menjawab pertanyanmu yang “berat” itu, hehehe, kurasa setiap penulis akan menjawabnya berbeda dengan penulis lainnya. Ini tergantung bagaimana kita menyiasati hati dan otak saat aktivitas menulis kita terhenti. Nah, bagi saya, menyiasatinya adalah dengan cara mengeluarkan diri dari “lingkungan penulisan”, tapi jangan terlalu lama.

      Get out of it for a while, do something else!! Bisa melalui dengerin musik, jalan kaki, atau menonton film. Ngobrol dengan teman juga boleh, mengaktifkan sosmed, misalnya. Hanya saja untuk sosmed ini perlu saya peringatkan, bahwa kalau bisa saat menulis jauhkanlah diri dari internet. Facebook, twitter, instagram, path, bbm, wa, line, dll, dsb, kalau bisa jangan disentuh selama proses menulis. Sosmed itu sangat menyita waktu dan tak terasa terlewatnya. Tiba-tiba saja sudah satu/dua jam kita buang percuma dengan bermain sosmed. Tapi kalau internet digunakan untuk kebutuhan observasi/mencari informasi, ya jangan ragu menggunakannya setiap saat.

      Pada saat kita mengeluarkan diri dari “lingkungan penulisan” ini, sebaiknya apa yang kita lakukan itu kita renungkan keterkaitannya dengan cerita yang sedang kita tulis. Misalnya, kita nonton DVD film, pilihlah film yang mungkin bermanfaat dan terkait dengan cerita yang sedang kita bangun. Atau kalau dengerin musik, pilihlah lagu yang selain melodinya bagus, liriknya juga bagus. Siapa tahu dari dialog film atau lirik lagu, kita bisa mengambil manfaat untuk dituangkan dalam tulisan buku kita. Nanti kalau sudah cukup istirahatnya, segeralah kembali ke “alam penulisan” sambil menuangkan inspirasi yang kita peroleh saat istirahat, jika ada. Jikapun tidak ada, ya tidak mengapa, kita tetap lanjutkan saja menulisnya.

      Satu lagi saran saya adalah buatlah kerangka karangan. Pengalaman saya, saat pertama mulai menulis saya sudah tahu awal dan akhir cerita. Saya belah ide cerita mencadi bagian-bagiab bab, lalu mulailah saya menulis bab demi bab, biasanya urut. Nah, di tiap bab pula, saya menulis lagi kerangka karangan untuk bab yang bersangkutan, agar saya tak harus menghafal urutan cerita yang sudah saya bayangkan. Meski demikian, bebaskan imajinasi melayang dan berkembang. Pada saat mengetik nantinya, jika terlintas ide lain yang lebih baik, jangan ragu-ragu mengikuti ide tersebut. Meskipun berbeda dengan kerangka kita semula tidak mengapa, tinggal coret saja kerangka lama dan buat kerangka baru yang sesuai. Jadi, saya tuh kalau menulis harus selalu disertai dengan buku di samping laptop, hehehe.

      Demikianlah Ayu, saran saya. Semoga bermanfaat. Selamat menulis sampai selesai!!! 🙂

  2. Haloo pak prima 😀 senang sekali baca artikel anda.
    Mau tanya pak, saat penandatanganan kontrak antara penulis dan penerbit, berkas kontraknya hanya di kirim lewat pos yah?
    Jadi kontrak dengan penerbit hanya di tanda tangani di rumah saja dan tak datang langsung ke kantor penerbit?
    Tolong di jelaskan dan di balas pak, saya penasaran hehe terima kasih.

    • Terimakasih atensinya Celin. Semoga bermanfaat membaca tulisan saya. 😆😆😆

      Mengenai kontrak, iya, kita tak perlu datang ke kantor penerbit. Kontrak berisi dua lembar disertai meterai dikirum ke rumah saya, lalu sy kembalikan via kurir juga ke penerbit. Tapi selama proses berlangsung, saya dan pihak penerbit -baik admin maupun editor – selalu berkomunikasi via email maupun telpon untuk memastikan segala sesuatunya. Jaman emang sudah berubah Celin, bahkan sampai buku sy terbit, sy sama sekali nggak pernah bertemu muka sama editor saya, hehehe. 😁😁😁

  3. It’s among good stories of writing books I’ve found. Now, I’m in state of being contended in view of the fact that my first book that I’ve written and sent to a mayor publisher of Gramedia group has received a warm welcome from it. Surely, It’s good news which pleases me best. And yes, what is needed by a new writer is patience inasmuch as the duration of review conducted by a publisher sometimes really takes time and makes heart pound up everytime we open our email inbox. I then justify your saying that the best way to write is ‘write’ itself.

    For the last, I just hope and pray devoutly the book will be worthwhile for anyone who is (going) to learn English. 🙂

  4. Hallo pak Prima,
    Saya adalah seorang ‘penulis pemula’. Saya sudah mencoba menulis banyak cerita, tapi saya tidak percaya diri dengan gaya penulisan saya. Sudah menulis panjang-panjang, saat dibaca dari awal lagi, rasanya malu karena hal-hal tertentu. Meski sudah mencoba menulis bebas, tetap saja tidak pernah bisa. Bagaimana cara saya mengatasi ketidak percayaan saya dengan tulisan saya sendiri?
    Sebelumnya, terima kasih banyak!

    • Hai Kirie… Maaf saya telat reply nya… Somehow notifikasinya nggak kebaca sama saya, hehehe… 😛 Well, saya dulu juga gak pede, tapi diterima juga tuh naskah saya, hehehe… 🙂 Kalau sudah selesai nulisnya, kirim saja ke penerbit, sekalian tes tes ombak, hehehe… Kalau gak diterima, coba ke penerbit lain… Kalau gak diterima lagi, coba ke yang lain lagi, dst, dst… Kalau sudah tahap capek ngirim dan ditolakin terus, ada dua cara untuk nerbitin, tapi tentunya pendapatan dari sini minim yaaa, bahkan mungkin akan dituntut bayar biaya cetak sendiri, hehehe… Satu, self publishing ke percetakan… Dua, masukin aja ke blog biar dibaca sama yang mau baca, hehehe… Tapi yang ini berarti ya gak ada pemasukan sama sekali yaaa… 😛

      Mengenai hasil tulisan, salah satu indikatornya adalah diri kita sendiri… Kalau kita merasa suka membacanya, ya pede aja ngasih ke penerbit… Tapi kalau kita sendirinya malas membaca tulisan kita sendiri, ya berarti ada sesuatu yang harus diperbaiki di sisi kitanya, bisa tulisan kita, atau psikologi kita… Yang pasti, tak ada yang tahu hasilnya apa kalau kita nggak mencoba… Betul nggak? So, semangatlah terus menulis dan membaca… Latihan terus, Insyaa Allah bikin tulisan makin bagus… Coba bikin status yang panjang di facebook ttg hal apapun, lalu cek aja teman-teman kita ada yang mau baca dan komen nggak? Kalau banyak yang mendukung, ya Bismillah, lanjutkan terus hobby nulisnya dan kirimkan naskah novelnya… Sebetulnya, makin sering kita nulis di sosmed kita yang panjang dan “bermakna”, lalu dapet pujian, itulah “bensin pede:-nya kita… Jangan sombong tapi yaaaa… Cukup untuk bikin kita bangun dari rasa “rendah diri” namun tetap menjaga “rendah hati”…

      Gitu deh saran saya… Semoga membantu yaaaa… Semangaaattt!!! 🙂

  5. Hai Pak Prima. Salam kenal ya, saya Indri. Saya menulis novel sejak 2014, dan alhamdulillah sudah 2 novel yang diterbitkan. Tapi saya merasa tidak puas dengan karya saya yang sudah terbit. Saya merasa karya saya sangat tidak bermutu. Hehe. Kali ini saya ingin menulis novel atau buku lagi. Kalau fiksi, bagi saya tidak terlalu berat karena banyak ngarangnya. Kalau buku non fiksi, saya kurang percaya diri karena saya orangnya inkonsisten. Misalnya mau ngasih motivasi, di bagian tulisan lain saya malah menentang pernyataan saya sendiri.

    Bagaimana ya, supaya kita bisa konsisten menulis?

    Semoga Pak Prima tetap semangat menulis. Blog ini sangat menginspirasi saya!

  6. Assalamualaikum, Bu Indriani, salam kenal juga. Wah, novelnya sudah dua! Selamat ya Bu, dan tetap semangat menulis yaaaa… Tentang bermutu atau tidak bermutunya sebuah novel, kita sebagai penulis sebetulnya tidak perlu risau. Biarlah pembaca yang menentukan. Kita juga bisa punya lini produk yang beda-beda, misalnya ada novel-novel yang sengaja dibuat ringan, ada yang untuk dewasa, ada yang ber-genre khusus misalnya horror, romance, pembunuhan, dll, dsb, maupun bisa juga yang non-fiksi. Terus terang saya belum pernah punya rencana bikin buku Non-Fiksi. Tulisan non-fiksi saya hanya sebatas artikel-artikel di WordPress ini saja. Itupun bebas topiknya, sebebas yang hati saya mau dan otak saya mampu. Dan di kebanyakan artikel, saya membiarkan diri saya “tetap tidak tahu” atau “membuka wawasan dua sisi”. Saya biasanya sampaikan bahwa pola pikir saya cenderung “begini”, namun jika pembaca ingin “begitu” ya silakan, asal bla-bla-bla terkait “norma kebaikan moral yang diterima umum”. Biasanya saya nulis seperti itu dalam topik Agama atau Politik, mengingat topiknya sangat sensitif.

    Dalam memotivasi, saya lebih suka melakukannya lewat fiksi, seperti novel saya yang satu-satunya itu hingga kini, hihihi… Disitu bahkan saya sebutkan di bagian “Tentang Penulis”, bahwa novel ini tujuannya adala “kampanye pernikahan”, alias “the importance of being married”. Dengan begitu, saya membantu pembaca – terutama yang skeptis dengan pernikahan atau sudah mulai jenuh atau putus asa gak dapet-dapet jodoh – untuk tidak menutup diri terhadap pernikahan itu sendiri. Namun di sisi lain saya juga tidak menghujat orang yang memilih untuk tidak menikah, meski jelas-jelas di buku itu saya berpihak pada pernikahan.

    Tentu saja saya tidak meng-klaim pendekatan saya itu benar adanya, namun so far cocok buat saya, meski belum tentu cocok buat orang lain, misalnya Penerbit, hahaha… Terbukti soalnya novel kedua saya yang sudah kelar ternyata menuai penolakan dari banyak penerbit, hehehe… Alhasil, mangkrak deh tuh naskah hingga kini, hihihi…

    Tetap semangat menulis ya Bu… Glad to share things here with you… Thank you…

Leave a reply to primasantika Cancel reply