Pengalaman Menulis Buku PERTAMA

* ASAL MUASAL SAYA MENULIS

Menjadi penulis bukanlah impian saya sejak kecil. Saya baru “bermimpi” jadi penulis ya sejak saya mulai menulis novel TW&JA di awal tahun 2008. Namun kegemaran menulisnya sendiri mulai saya sukai sejak SMP, karena saya ingat dulu itu pernah punya buku tipis semacam kumpulan puisi, lalu buku itu sempat ditemukan teman sekelas dan jadi bahan olok-olok dengan cara dibacakan lantang-lantang saat istirahat kelas, hahaha. Saya juga ingat kesenangan saya saat mengerjakan PR membuat dialog di pelajaran Bahasa Inggris. Saya membuatnya sambil membayangkan itu adalah adegan dalam film, dan karena saya adalah penggemar film drama, saya sampai pernah membuat dialog dengan memasukkan adegan berciuman, padahal saya masih SMP, hahahaha. Kalau buku harian saya tidak pernah punya, meski pernah mencobanya di masa SMP dan SMA, tapi tak pernah bertahan lama, paling cuma seminggu. Mungkin saat itu karena saya belum bisa mengungkapkan isi hati dalam bentuk prosa yang bagus, jadi yang saya tulis adalah kegiatan sehari-hari saja yang mana antara hari yang satu dengan yang lain isinya tak jauh beda, jadi lama-lama saya sendiri bosan, hahaha.

Di masa dewasa sejak ada blog dan Facebook, saya memilih untuk menulis beberapa kontemplasi pribadi di Facebook, bukan di blog. Meski saya punya beberapa blog, namun pengalaman membuktikan bahwa saya tidak pernah bisa aktif menulis di blog. Mungkin karena saya tidak tahu bagaimana caranya mempromosikan sebuah blog agar banyak yang mau membacanya, maka saya merasa tulisan saya di blog tidak pernah terapresiasi oleh siapapun, sedangkan di Facebook teman-teman saya adalah audeince-nya. Dan satu lagi bedanya dengan Facebook adalah adanya section Photo Album di Facebook. Saya gemar memfoto dan difoto serta memamerkannya,  sehingga tiap kali saya upload sebuah album, saya selalu ingin melengkapi album tersebut dengan penjelasan aktivitas yang terkait saat itu. Tadinya berbentuk komentar atau liputan, lama-lama saya cenderung membuatnya dalam bentuk puisi. Tujuannya adalah untuk memperpendek penjelasan saya dan sekaligus menuangkan perasaan yang saya alami di dalamnya. Dengan puisi jatunya jadi lebih dramatis, dan saya ternyata menikmatinya. Lama kelamaan saya menulis juga di section Notes di Facebook untuk beberapa kontemplasi pribadi yang tidak disertai acara pamer foto. Mungkin disitulah awalnya saya mulai suka menulis.

 

* PROSES KREATIF PENULISAN HINGGA PENERBITAN

Proses menulis TW&JA saya jalani selama 3 tahun, dari awal 2008 sampai akhir 2010. Kendala utamanya adalah menemukan waktu untuk menulis disela kesibukan bekerja dan berumah tangga bersama istri dan anak pertama saya yang saat itu baru lahir. Kendala selanjutnya adalah minimnya pengalaman saya di sunia tulis-menulis ini, sehingga saya baru menyadari bahwa ternyata riset perlu dilakukan untuk memperdalam topik penulisan. Mengingat topik utama di novel saya adalah Jane Austen sedangkan saya saat itu belum pernah membaca satupun novel-novel Jane Austen, maka mau tak mau saya harus mulai membacanya. Proses riset juga meliputi menonton film dan miniseri adaptasi dari buku Jane Austen, serta mencari berbagai hal di internet tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Jane Austen. Banyak sekali artikel-artikel yang membantu memperdalam pemahaman saya tentang esensi cerita di buku-buku Jane Austen. Selain itu, ternyata tak sulit untuk bertemu dengan para penggemar Jane Austen di seluruh dunia. Ada banyak sekali Facebook Page terkait dengan Jane Austen, dari yang dikelola secara resmi oleh organisasi, sampai Fan Page yang dikelola perorangan. Disana saya bisa berinteraksi dengan mereka dalam berbagai topik seputar Jane Austen, baik karyanya maupun kehidupannya.

Akhirnya pada bulan November 2010 naskah novel saya selesai juga. Saya serahkan naskah tersebut dalam bentuk hardcopy sebanyak +/- 350 halaman ukuran A4 dengan spasi ketikan 1,5 kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama. Tiga bulan kemudian di bulan Februari 2011, saya menerima surat dari Gramedia yang menyatakan bahwa mereka akan menerbitkan naskah saya sebagai novel dalam genre Metro-Pop, dan bahwa buku saya harus mengantri untuk proses editing. Saya kemudian diminta menyerahkan softcopy naskah untuk mempermudah proses editing. Namun kemudian, pihak Gramedia menyatakan bahwa daftar antrian untuk editing sangatlah panjang saat itu. Ternyata selain keahlian menulis dan keharusan melakukan riset, satu hal lagi yang perlu dimiliki dalam menerbitkan sebuah buku adalah kesabaran. Proses antrian ternyata memakan waktu sangat lama, kurang lebih sembilan bulan. Pada bulan November 2011, saya mendapat email pertama dari Editor di Gramedia yang mengirimkan draft awal hasil editan atas naskah saya. Saat itu saya sangat gembira tak terkira meski harus menerima tugas membaca ulang naskah saya dari awal sampai akhir sebagai kelanjutan proses editing. Dalam prosesnya saya menemukan bahwa beberapa bagian dari naskah saya itu ternyata dihilangkan. Saya sempat menanyakan hal itu kepada Editor saya, kemudian beliau menjelaskan alasannya, dan sayapun kemudian menyetujuinya. Pada intinya, di fase ini yang terjadi adalah komunikasi antara Pengarang dan Editor denga tujuan memutuskan hasil akhir naskah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam kasus saya proses ini berlangsung cukup singkat, sedangkan pada kasus lain bisa jadi prosesnya memakan waktu lama, tergantung kondisi masing-masing naskah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dibuatkan setting lay-out-nya selama kurang lebih dua minggu, yang mana hasilnya disebut sebagai Proof, yaitu file yang akan tercetak sebagai buku nantinya. Proof ini harus dibaca ulang, bisa oleh Editor atau oleh Pengarang, untuk memastikan bahwa file inilah yang benar untuk naik cetak. Bersamaan dengan itu, saya dianjurkan untuk mulai membuat usulan cover buku jika saya berkenan, mengingat sebetulnya keputusan mengenai desain sampul sepenuhnya berada di tangan Gramedia, sedangkan Pengarang hanya boleh memberi usul saja. Hal tersebut tertuang dalam Surat Perjanjian Penerbitan yang ditandatangani oleh saya dan Gramedia.

Surat Perjanjian Penerbitan dari Gramedia, yang isinya berupa kontrak penerbitan untuk ‘satu’ judul buku saya tersebut, saya terima melalui kurir ke alamat rumah saya pada saat proses editing berlangsung. Perlu diperhatikan disini bahwa kontrak tersebut hanya mengikat untuk satu judul buku saja, bukan Pengarangnya. Dengan demikian baik Penerbit maupun Pengarang bebas melanjutkan atau menghentikan kerjasama penerbitan buku untuk karya-karya selanjutnya.

 

* “MENCURI” WAKTU UNTUK MENULIS

Dalam pengalaman saya, karena saya bekerja di kantor, salah satu cara untuk menghindar dari pekerjaan adalah dengan mengambil cuti. Beruntung saya adalah karyawan dengan masa dinas yang sudah cukup lama, sehingga saya mempunyai jatah cuti panjang yang saya ambil sedikit demi sedikit untuk kebutuhan menulis ini. Disamping itu, pekerjaan saya saat itu seringkali mengharuskan saya bepergian dinas ke luar kota. Saya selalu menyempatkan diri diantara waktu luang saya di luar kota untuk menulis, sejak dari waiting lounge di Airport sampai di kamar hotel begadang sampai lewat tengah malam. Tak ada kiat khusus dalam menyikapi masalah ini. Yang pasti usahakan pekerjaan di kantor tidak berantakan, dan prose menulis berjalan lancar.

Setiap kali saya sudah ada ide untuk menulis, saya ambil cuti 5 hari kerja, tapi saya tidak berada di rumah. Saya pergi di pagi hari di jam yang sama karena harus tetap mengantar istri saya ke kantor. Namun sesampainya di kantor istri, saya tidak melanjutkan perjalanan ke kantor saya, melainkan mencari gerai Starbucks Coffee terdekat. Saya selalu berada disana setiap hari selama seminggu sejak pagi sampai sore untuk menulis, kemudian menjemput istri untuk pulang di waktu seperti biasa. Bagi saya, suasana di Starbucks Coffee sangat kondusif dalam proses penulisan saya. Gerai yang ternyaman menurut saya saat itu adalah Starbucks di gedung Oakwood, di kompleks perkantoran Mega Kuningan. Lokasinya tidak sempit, kalaupun pelanggannya sedang banyak tidak terkesan sesak, dan iringan musiknya yang seringkali jazzy menenangkan pikiran saya dan menumbuhkan semangat untuk menulis.

 

* MENJADI SEORANG PENULIS

Dari pengalaman saya di bidang menulis yang sangat minim ini, menurut saya modal yang perlu dimiliki penulis adalah ketrampilan menulis dan kemampuan memperhatikan. Ketrampilan menulis bisa diperoleh dari seringnya menulis. Practice makes better! Silahkan kalau ingin mengambil kursus menulis atau tidak, tapi yang pasti sering-seringlah menulis. Saya sendiri belum pernah kursus menulis, tapi saya tidak menyerah pada sulitnya membuat karya tulis. Di sisi lain, kemampuan memperhatikan tidak ada kursusnya. Disini menurut saya sangat penting bagi penulis untuk mengasah sensitivitas hati dan pikiran. Caranya adalah dengan menangkap “makna” pada setiap kejadian dalam kehidupan. Sebuah karya akan dianggap “dalam” dan tidak “dangkal” adalah pada saat karya itu menyentuh satu sisi di kehidupan. Sebagai latihan, cobalah mencermati lirik lagu yang mendapat penghargaan Grammy, atau mencari sisi kemanusiaan dari sebuah film action atau komedi atau animasi atau drama, yang masuk nominasi Oscar. Kalau sudah bisa menangkap esensinya, mulailah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman, mencari sisi-sisi kemanusiaan dari berita-berita di tv atau koran, atau mencermati pengalaman hidup kita sendiri atas suatu nilai hidup yang saat ini kita tahu tapi lima tahun yang lalu kita tidak tahu. Mungkin dari situ kita akan menemukan bagaimana diri kita menjadi lebih mengerti atau lebih bijaksana dalam memandang sesuatu. Proses pendewasaan suatu karakter dalam sebuah karya tulis adalah poin penting yang menjauhkannya dari kesan “dangkal”.

Bagi saya, yang saya sukai dari profesi Penulis ini adalah kesempatan untuk berbagi kebaikan dengan para pembaca. Selama proses penulisan bahkan sampai sekarang, saya selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar saya diberi kemampuan untuk membuat buku yang “bermanfaat” bagi para pembacanya. Bukan berarti saya harus membuat sebuah buku Motivasi, tapi saya akan sangat senang jika pembaca buku saya bisa mengaplikasikan hal-hal yang saya tulis di buku itu dalam kehidupan keseharian mereka. Oleh karena itu saya membuat buku yang masalahnya sebisa mungkin dekat dengan realita, dan berakhir bahagia. Happy ending ini penting bagi saya, karena saya ingin para pembaca mempunyai “harapan” bahwa masalah kehidupan yang saya sampaikan dalam buku saya bukan tak ada jalan keluarnya. Kalaupun alur kisahnya berbeda dengan kehidupan nyata, setidaknya jika pembaca bisa menemukan koneksinya antara cerita atau karakter di buku dengan kehidupan dia atau orang lain disekitarnya, maka mereka akan percaya bahwa buku saya ini dekat dengan realita.  Dari situ, “manfaat” membaca buku saya akan terserah kepada pembaca itu sendiri, apakah mau mempertimbangkan rekomendasi solusi seperti kisah di buku saya, atau mencari alternatif yang lain, silahkan saja.

Sedangkan yang saya tidak suka dari profesi Penulis adalah berkurangnya waktu dalam jumlah cukup banyak, yang seharusnya bisa saya luangkan untuk bersenang-senang dengan keluarga. Itu saja! 🙂

 

* BAGI PENULIS PEMULA

Saran saya adalah rajin-rajinlah menulis. Itu utama! Teori yang lain bisa bertambah seiring perkembangan pengalaman dan pola pikir manusia dari waktu ke waktu, namun “passion for writing” harus tetap dijaga. Saran selanjutnya adalah menulislah dari hati. Bukan untuk orang lain, tapi buat diri sendiri. Kalau kita yakin bahwa kita sudah menghasilkan karya tulis yang bagus, maka Insya Allah orang lain yang membacanya juga turut yakin akan hasil kita itu. Tapi hati-hati, jangan sampai saking yakinnya, kita justru terjerumus dalam sikap sombong. Penulis yang merasa dirinya sudah paling pandai, tak akan bisa menyisakan ruang bagi dirinya sendiri untuk berkembang. Dan ini fatal akibatnya. Tetaplah rendah hati dan membuka diri atas berbagai kritik dan saran, bahkan mungkin penolakan sekalipun. Tetap semangat menulis dan memperbaiki diri. Karya tulis adalah sebuah produk seni, yang pada akhirnya tergantung apada selera masing-masing orang yang menikmatinya. Jadi jangan heran kalau menemui karya tulis yang sangat bagus, best seller dimana-mana, tapi tetap saja ada yang tidak suka. Penulis tak bisa memaksakan selera.

And last but not least, rajin-rajinlah berdoa kepada Sang Maha Pemberi Ilmu agar selalu diberi pikiran yang terang dan ide yang cemerlang. Bagi saya ini penting, terutama untuk menghindari “writing block”, sebuah kemacetan ide dan pikiran yang paling ditakuti oleh semua penulis. Maka pada akhirnya “ikhlas dan sabar” adalah kunci untuk menjawab semua permasalahan manusia di muka bumi ini, termasuk bagi para penulis.

Selamat menulis, kawan! 🙂