MURDER ON THE ORIENT EXPRESS: Misteri Tak Seperti Dulu Lagi

murder_on_the_orient_express_ver21_xxlg

Let’s get this straight, semua adegan action yang ditampilkan di film ini, tak pernah tertulis di dalam novelnya. Kejar-kejaran, tembak-tembakan, tusuk-tusukan, semuanya adalah improvisasi kekinian (kecuali saat terjadinya pembunuhan), demi tercapainya box office yang diinginkan. Demikian juga dramatisasi berlebih yang dimunculkan hingga sukses mengaduk haru biru perasaan. Semua adalah rekayasa kreatif para sineas pembuatnya untuk menancapkan penonton di kursi mereka sepanjang durasi tayangan. Dan saya suka itu semua! Hasilnya adalah sebuah film berkelas, penuh gaya, memuaskan mata, menggetarkan jiwa, yang sangat layak mendapat banyak nominasi Oscar tahun ini.

PhotoGrid_1512620170799Agatha Christie semasa hidupnya (1890 sampai 1976) telah menghasilkan karya 66 novel detektif dan puluhan cerita pendek lainnya. Angka penjualan bukunya yang melebihi dua milyar copy, konon hanya bisa disaingi oleh penjualan kitab suci Injil dan buku-buku Shakespeare. Dengan kredibilitas setinggi itu, sineas manapun yang ingin membuat adaptasi karya tulisnya seyogyanyalah berhati-hati dan menghormati materi dasarnya. Dalam hal ini, Kenneth Branagh sang sutradara sekaligus pemeran utama film “Murder On The Orient Express” versi 2017 ini, berhasil menghadirkan adaptasi sinema yang menakjubkan dari salah satu novel misteri terbaik dunia, memberinya sentuhan kontemporer, namun tanpa menghilangkan anatomi dan kejiwaan utama dari novelnya.

Di tahun 1974, sutradara Sidney Lumet telah sukses mengadaptasi Orient Express dengan bantuan aktor dan aktis ternama pada masanya, bahkan meraih enam nominasi Oscar dengan satu kemenangan di tangan aktris legendaris Ingrid Bergman. Tak kurang dari Sean Connery, Lauren Bacall, Vanessa Redgrave, Jacqueline Bisset dan sederet nama beken pada masanya turut membintangi film ini. Orient Express pada masa itu berjaya meraih pujian kritikus serta meraup keuntungan besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, perlukan dibuat lagi adaptasi novel ini ke layar lebar?

Hercule Poirot: The Center of Attention

PhotoGrid_1512620354142Adalah karakter seorang detektif nyentrik asal Belgia bernama Hercule Poirot (baca: Erkyul Poaro, dengan “r” dikulum selayaknya aksen Bahasa Perancis) yang menghidupkan cerita misteri ini dari awal hingga akhir. Poirot mendominasi karya misteri Agatha Christie melalui 33 novel dan puluhan cerita pendek. Dikisahkan sebagai karakter dasarnya, Poirot adalah detektif jenius yang perfeksionis dengan kumis tebal sebagai ciri khasnya. Setebal apa? Konon Kenneth Branagh dan teamnya menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk memilih bentuk kumis yang sempurna untuk Poirot. Sangking pentingnya!

Memilih pemeran Hercule Poirot sangatlah krusial, mengingat hampir dalam semua scene akan ada Poirot di dalamnya. Poirot di versi 1974 diperankan oleh aktor Inggris terkemuka pada masa itu, Albert Finney, yang fisiknya musti dipoles sedemikian rupa hingga tampak lebih tua dari usianya. Pada tahun 2010, sebuah serial televisi yang banyak mendapat pujian bertajuk “Agatha Christie’s Poirot” menempatkan aktor Inggris David Suchet sebagai pemerah Poirot. Secara pribadi, jika saya membaca atau mendengar nama Poirot, saya akan langsung mengingat sosok David Suchet ini. Betapa tidak, penayangan serialnya sejak 1989 hingga 2013, dan sempat disiarkan oleh TVRI pada masanya, membentuk persepsi saya tentang detektif tersohor ini. Dan akhirnya versi 2017, aktor dan sutradara Inggris ternama Kenneth Branagh kembali memerankan sosok Poirot dengan kumis dahsyat yang tak akan pernah saya lupa. Merangkap jabatan di film ini konon baginya punya keuntungan tersendiri, yaitu bisa melihat dari dekat kinerja akting para aktornya.

Para Tersangka: Akting Maximal Berdurasi Minimal

Murder on the Orient Express-001Sederet aktor kawakan sekelas Judi Dench, Derek Jacobi, Michelle Pfeiffer, Willem Defoe, Penelope Cruz dan Johnny Depp, disini berkolaborasi dengan aktor muda ternama seperti aktris pemeran utama Star Wars -Daisy Ridley, pengisi suara Olaf dalam film Frozen – Josh Gad, aktor kulit hitam peraih Tony Award atas akting panggungnya dalam Broadway Musical fenomenal Hamilton – Leslie Odom Jr, dan sederet lainnya. Uniknya, durasi akting mereka masing-masaing amat pendek. Demikian memang adanya di dalam bukunya, dan demikian pula yang tersaji dalam filmnya. Namun bukan tanpa alasan nama besar mereka dihadirkan dalam film ini. Demi menghidupkan dua belas karakter tersangka yang pada dasarnya hanya duduk dan diinterogasi oleh Poirot saja, kemampuan akting mereka akan diuji berat dalam film ini.

Murder on the Orient Express1-001Di versi 1974, Ingrid Bergman memerankan seorang Misionaris yang kali ini diperankan Penelope Cruz. Konon awalnya ditawarkan baginya peran sebagai Putri Raja Rusia yang diperankan Judi Dench tahun ini, namun dia tolak dan memilih peran lain meski berdurasi akting lebih pendek. Kemunculan utamanya hanya sakali, berdurasi tak lebih dari lima menit, namun Oscar berhasil dibawanya pulang. Disinilah bukti tantangan yang menarik para aktor besar untuk mau memerankan peran-peran minor bermuatan mayor di film ini. Ini film detektif, dan mereka hanyalah tersangka. Apa yang mereka ucap bisa jadi benar bisa juga bohong, dan latar belakang karakter mereka tidak diceritakan panjang lebar, yang mana biasanya membantu para aktor untuk mencapai titik kulminasi saat memainkan turbulansi emosi yang akan mereka aktingkan sebagai puncaknya. Mereka hanya punya satu atau dua kali sesi interogasi, tapi emosi mereka harus tertuang dalam akting yang sekejap itu.

Adalah Josh Gad yang mencuri perhatian saya. Terbiasa melihat tingkahnya yang lucu di luar film, sesi interogasi Josh sempat menggetarkan perasaan saya. Dan yang paling fenomenal dalam film ini adalah endingnya, dimana Kenneth Branagh dan Michelle Pfeiffer bersinar dalam akting mereka. Setidaknya nominasi satu pemeran utama dan dua pemeran pembantu, saya rasa layak disematkan dalam film ini, selain nominasi-nominasi lain dari sisi teknis.

Grandeur and Glamour

PhotoGrid_1512698728107.jpgSekitar tiga puluh menit di awal film, penonton akan disuguhi unforgettable experience of grandeur and glamour. Ini sama sekali diluar konteks novelnya. Dan kalau dibandingkan dengan versi 1974, pada masa dimana CGI (computer-generated imagery) belum ditemukan, sedikit sekali kemegahan diluar kereta yang ditampilkan disana. Di versi modern ini, kota tua Istanbul di tahun 1930-an tergambar megah. Stasiun kereta yang dibangun nyata di studio terlihat eksotis romantis, dengan suasana riuh rendah pasar berisi ratusan figuran berseliweran. Pengambilan gambar yang panjang tanpa putus sebelum naik kereta membuat kita bagai hidup didalamnya, turut berasa excited akan naik kereta.

PhotoGrid_1512284128314Di dalam kereta, suasana berubah mewah dengan segala detail yang ditampilkan. Penggunaan kamera film 65mm yang sangat jarang digunakan dalam pembuatan film belakangan ini, konon membuat tampilan ruang kereta yang sempit jadi lebih luas dan lebih hidup. Saya beruntung menontonnya di CGV Starium Theater, dimana konsep layar dan posisi tempat duduknya sekelas IMAX-nya XXI, hingga pengalaman menonton saya di film ini lebih kaya sensasi. Ini film drama, tapi pergerakan kameranya dinamis luar biasa. Saat adegan ditemukannya mayat di salah satu kabin kereta, kamera berada 180 derajat diatas kepala, tegak lurus dengan kondisi dibawahnya, hingga kita bisa melihat tata letak semua bukti pembunuhan dalam aktivitas forensik yang sedang terjadi.

The Happy Ending

Salah satu yang membedakan versi 2017 dengan pendahulunya di tahun 1974 adalah starting dan ending nya. Dan konsekuensi atas pemilihan tampilan keduanya sangat menentukan kenyamanan selama menonton film. Yang pasti, awal film dari kedua versi tidak sama dengan versi novelnya. Ini tidak masalah, mengingat bagaimanapun juga film dan buku adalah dua media yang berbeda sebagai wadah penyampaian cerita. Versi 2017 memilih introduction to Poirot sebagai pembuka film, sedangkan versi 1974 memilih visualisasi kasus pembunuhan lawas yang terjadi 5 tahun sebelumnya. Kasus tersebut akan menjadi dasar pembahasan dalam kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi di kereta Orient Express.

Dengan prolog tersebut, versi 1974 jadi punya kekuatan lebih dalam penyampaian informasi kepada pemirsa. Ditambah sedikit flashback, jalannya interogasi Poirot dapat lebih dimengerti daripada versi terbarunya. Kebalikannya, di versi 2017 penonton akan bekerja keras menghubungkan arah interogasi dengan kasus lawas yang disampaikan melalui flashback dalam durasi lebih panjang. Ini jadi kendala pada awalnya, namun saat kita sudah paham dengan cerita yang berjalan, flashback ini jadi kekuatan di akhir cerita.

PhotoGrid_1512602886193Versi 1974 benar-benar setia pada situasi yang tergambar pada novel, yaitu penjelasan jenius Poirot di hadapan para penumpang yang menanti gelisah sebuah informasi penting, yaitu siapakah sang pembunuh diantara mereka. Penjelasan ini terjadi di dalam gerbong kereta yang sempit, dimana Poirot berdiri membeberkan temuan dan kesimpulan, sedangkan para penumpang duduk menyimak terkuaknya kebenaran dan kebohongan yang telah mereka sampaikan. Versi 2017 mendobrak tradisi itu. Kesimpulan yang disampaikan sama, keputusan yang diambil sama, kegalauan hati Poirot juga sama. Yang membedakan adalah pengembangan imajinasi hingga tercipta dramatisasi tingkat tinggi yang membuat saya terkesima dan berlinang air mata.

Dan setelah film ini usai, jangan segera berdiri meninggalkan teater. Nikmatilah dulu lagu “Never Forget” saat credit title berjalan, yang dinyanyikan penuh rasa oleh Michelle Pfiffer. Buat yang tadinya nangis melihat ending film, saya jamin akan nangis lagi mendengar lagu ini. Satu lagi nominasi Oscar untuk film ini.

Pada akhirnya, perlukah semua extravagansa itu untuk menyampaikan sebuah kisah klasik yang sudah kokoh dalam kemasan aslinya? Diluar perlu atau tidak perlu, sebuah karya seni sinema berhak mendapat penilaian mandiri atas usahanya menyampaikan kisah klasik dalam ruang imaji yang dimilikinya, di sepanjang koridor cerita yang mendasarinya. Sutradara Baz Luhrmann membuat Scott Fitzgerald’s “The Great Gatsby” dan William Shakespeare’s “Romeo+Juliet” serta menjadikannya super mewah dan hingar bingar. Joe Wright mereka ulang Leo Tolstoy’s “Anna Karenina” dalam kemasan teatrikal, dan mendramatisir Jane Austen’s “Pride And Prejudice” dengan ritme lebih cepat. Kenneth Branagh sendiripun sudah berkali kali mengangkat karya Shakespeare ke layar lebar dalam tiga dekade belakangan ini. Akan selalu dibutuhkan sinematic remake dari waktu ke waktu untuk mengakomodir penonton generasi baru yang ingin menikmatinya, dalam kondisi kekinian yang menyertainya.

 

***  T  A  M  A  T  ***